Bagaimana dengan kasus gara-gara tidak bisa melunasi sisa utang
di Bank Doremon, rumah yang dinilai seharga Rp 700 juta itu dilelang
hanya seharga Rp 50 juta.
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Sebelumnya kita awali dengan memahami skema transaksi utang bergadai,
Pertama, bahwa transaksi nasabah dengan
bank adalah utang piutang. Sementara jaminan sertifikat yang diserahkan
nasabah ke bank berstatus sebagai barang gadai (rahn). Nasabah sebagai penggadai (rahin), sementara bank sebagai penerima gadai (murtahin).
Kedua, dalam transaksi gadai, barang yang
menjadi agunan tidak berpindah kepemilikan ke Murtahin. Barang itu tetap
menjadi milik nasabah (rahin), sehingga dia yang paling berhak atas
barang itu. Meskipun utang belum lunas ketika jatuh tempo.
Ini berbeda dengan kejadian masa jahiliyah. Pada zaman jahiliyah
dahulu apabila telah jatuh tempo pembayaran utang dan orang yang
menggadaikan belum bisa melunasi utangnya maka pihak yang berpiutang
menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang
menggadaikannya.
Ketika Islam datang, sistem dzalim semacam ini dibatalkan. Karena
status barang gadai tersebut adalah amanah dari pemilik yang ada di
tangan pihak yang berpiutang (murtahin). (Taudhihul Ahkam, Syarh Bulughul Maram, 4/467).
Ketiga, Dibolehkan bagi bank untuk meminta
nasabah agar segera melunasi utangnya. Jika tidak memungkinkan, bank
boleh meminta untuk menjual aset yang digadaikan.
Dalam Taudhih al-Ahkam dinyatakan,
لا يجبر الراهن على بيعه إلاَّ إذا تعذر الوفاء، حينئذٍ تأتي الفائدة من الرهن فيباع ويوفى الدين، فإن بقي من الثمن شيء فهو للراهن
Nasabah gadai (rahin) tidak boleh dipaksa untuk menjual barang gadai,
kecuali jika tidak memungkinkan baginya untuk melunasi utangnya. Di
sinilah fungsi gadai itu terlihat. Barang gadai bisa dijual untuk
menutupi utangnya. Jika masih ada yang tersisa dari hasil penjualan
setelah dikurangi utang, maka diserahkan ke pemilik barang (rahin). (Taudhihul Ahkam, Syarh Bulughul Maram, 4/467).
Keempat, mengingat pelepasan gadai
dilakukan dengan cara menjual aset, maka yang paling berhak menentukan
harga adalah pemiliknya. Jika tidak memungkinkan, pemerintah berhak
mengambil tindakan, membekukan aset itu. Pemerintah bisa melakukan
lelang terhadap aset dengan harga standar, untuk menutupi utang nasabah.
Di sinilah peran pemerintah sangat diharapkan. Pihaknya berkewajiban
melidungi kedua belah pihak. Melindungi hak orang memiliki utang
(nasabah) dan melindungi hak pemberi utang (lembaga keuangan). Tidak
boleh dilelang dengan harga yang bisa mendzalimi pemiliknya. Misalnya,
dijual dengan harga jauh di bawah harga pasar. Di tempat kita, salah
satu standar yang digunakan adalah NJOP (Nilai Jual Objek PaJak).
Di negara kita, tanggung jawab ini dipegang oleh Kantor Pelayanan
Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Kita berharap, kantor semacam ini
bisa bekerja lebih maksimal, dan bersih dari mafia.
Lelang Bank
Kebijakan lelang bank, salah satunya dengan melihat pertimbangan
kolektibilitas. Beberapa bank, nasabah yang tingkat kolektibilitas 5,
untuk rentang penunggakan lebih dari 6 bulan, berhak untuk dilakukan
penyitaan aset. Menurut informasi, ketika nasabah berada pada tingkat
kolektibilitas 3 sampai 5, maka masuk kategori NPF (Non Performing
Financing) atau loan (utang).
Yang menyedihkan adalah prinsip pihak bank adalah yang penting barang
itu laku, sehingga bisa menutupi nilai utang berikut bunganya. Atau
bahkan yang penting cukup untuk melunasi pokok utangnya. Sehingga, untuk
harga lelang, bank tidak terlalu ambil pusing.
Realita ini menunjukkan bahwa lelang hasil sitaan bank maupun lembaga
keuangan, adalah lelang yang tidak sehat. Sangat mendzalimi nasabah.
Sehingga dijual dengan harga yang sangat murah. Dan semua kedzaliman,
pengadilannya akan berlanjut di akhirat.
Alah berfirman,
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ
Janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai
dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah
menunda hukuman untuk mereka sampai hari yang pada waktu itu mata
(mereka) terbelalak. (QS. Ibrahim: 42)
Mereka para pemenang lelang, bisa berbahagia dengan menguasai harta
orang lain dengan cara legal dan murah. Bisa jadi di dunia dia menang
ketika eksekusi, tapi ingat ketika di akhirat, bisa jadi urusan ini akan
kembali dilanjutkan dan diselesaikan di pengadilan akhirat.
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina PengusahaMuslim.com dan Konsultasisyariah.com)