Sampai dengan usiaku sekitar 18 tahun, aku adalah anak tunggal. Bukan dimanja, namun tidak terbiasa berbagi. Dan aku pun tumbuh menjadi mahluk yang sedikit lebih egois dibanding orang-orang kebanyakan.
Semua hal yang penting dalam hidup, adalah diriku sendiri. Itu lumrah, karena memang manusia terlahir menjadi mahluk yang egois.
Namun semua berubah ketika kita jatuh cinta.
Jatuh cinta seolah-olah mementingkan orang yang dicintai di atas semuanya. Namun keliru. Sebenarnya itu adalah kehausan dalam alam bawah sadar kita sendiri, kehausan untuk mencintai dan mengasihi. Bukan orang itu yang kita penuhi egonya, tapi masih ego kita sendiri. Buktinya? Buktinya ketika dia selingkuh, tiada maaf baginya. Ketika cinta kita ditolak, dukun mulai bertindak. Ketika pasangan berbuat yang tidak sesuai apa maunya kita, serta merta piring melayang, sendok masuk ke mulut, ya... makan.
Semua berubah ketika aku memiliki Fathir.
Perasaan yang gak penting, pikiran-pikiran gak penting, kegundahan gak penting yang selama ini berenang-renang dalam RAM korteks ku, sirna.
Ketika menemukan bahwa ada bagian di luar dirimu, yang anehnya jauh lebih penting dibanding diri sendiri. Merasa lebih sakit, ketika dia sakit. Merasa lapar, ketika dia belum terlalu lapar. Ups. Sorry.
Saat dimana dia nakal sekalipun, menyakitimu pun, serasa pintu maaaf itu akan selalu ada. Ya, karena dia anakku.
Ketika kau punya buah hati, ego itu tertanggal dengan kasih sayang yang sangat jauh berbeda dengan cinta kepada pasanganmu. Sangat berbeda, apalagi kecintaan terhadap mobil antikmu.
Saat dimana kamu mulai memahami dan mengenal Tuhanmu, merasa bahwa dirimu sangat menyayangi anakmu, memanjakannya dengan kasih, tanpa menuntut apapun dari buah hati mu.
Saat dimana kamu paham, inikah yang disebut kasih.
Saat dimana kamu sadar bahwa kasih Tuhan kepada mu, jauh lebih besar dibanding kasih sayangmu kepada buah hatimu?
Kasih seujung kuku seperti ini saja, sudah sangat menguatkan otot jiwa dan raga para ibunda. Apalagi kasih sayang Tuhan untuk para mahlukNya?
Dia yang baik, yang penuh welas asih, bukan pendendam, bukan penuntut, namun penuh kesabaran.
Yaa walaupun patut diakui, aku juga masih perlu banyak bersabar. Anakku mengajarkanku banyak hal, terutama kasih sayang Tuhan.
Sebelum ini aku merasa mengenal Tuhan, namun bukan dari hati. Hanya dari otak logika duniawi. Tentang aturan yang begini dan begitu, tentang hukum fikih yang begini dan anu. Tanpa paham, apa mau Tuhan padaku, padanya, dan alam semesta.
Ketika kau punya buah hati, dia sering melakukan hal-hal aneh, anarkis, bahkan di luar aturan baku dalam prinsip hidupmu. Namun anehnya, hatimu tidak marah, tidak dengki atau pun sakit hati. Terkadang aku terlanjur kesal, namun di sisi lain khawatir jikalau dia merasa TIDAK DICINTAI. Mungkin Tuhan pun begitu, betapa inginNya Dia, bahwa Dia sangat menyayangi kami. Tak peduli sejahat apapun. Tidak lucu andaikata seorang ibu, anaknya nakal atau berbuat salah, dia akan ingat itu seumur hidup dan mendendam di kemudian hari. Menanti waktu untuk membalas perlakuan anaknya itu. Maaf, anda tidak pantas menjadi ibu. Karena untukku, ibu = lautan maaf.
Aneh untuk kesekian kali, ibu tidak menuntut ucapan terima kasih, tidak menuntut balasan materi selama membesarkan, dan menuntut ucapan maaf ketika sang anak bersalah padanya. Hanya ingin dia kuat menjalani kehidupan, kuat untuk menjadi pribadi welas asih dan tidak menyakiti orang lain. Kuat menjalani kehidupan, meskipun tanpa ditemani ibunya lagi. Mandiri.
Tidak jarang, aku kesal. Namun sebisa mungkin untuk tidak menaikkan nada suaraku, dia akan merasa sendirian, tidak dicintai, tidak diinginkan, dan tidak mendapat dukungan. Padahal, kalau bukan ke ibu, ke siapa lagi dia akan mendaratkan pelukannya?
Aku berusaha menjauh sambil ngedumel sendiri. Dan tidak sampai lima menit, anak itu datang padaku, dengan langkah kecilnya. Kemudian, tersenyum dan mengajakku bercanda. Tuhan, sebegitu mudahnya memaafkan, sebegitu mudahnya dia memaafkan perilaku ibunya yang tidak sabaran ini.
Seperti itulah Tuhan, datanglah padaNya, cukup mendekat. Begitu mudahnya Tuhan akan kembali memelukmu. Karena keluasan lautan kasih sayangNya.
Untuk anakku, sebelum dia meminta, pasti sudah aku siapkan segala yang dia perlukan. Tanpa perlu merengek atau memaksa, karena apa? Karena aku menginginkan dia bertumbuh dengan sempurna. Bukan untuk dibandingkan dengan anak-anak yang lain, namun kesempurnaan dia bagi perkembangan kemampuannya. Ketika aku membandingkannya dengan anak lain, dia akan merasa rendah diri dan tidak diinginkan. Dan lebih parahnya dia akan merasa kalau aku lebih menginginkan si anak X itu. Itu sebab tidak baik membandingkan anak dengan anak lain. Karena mereka punya kemampuan sendiri-sendiri. Kalau mau membandingkan, bandingkanlah anak dengan kondisi anak sebelumnya, kondisi yang jauh lebih rajin, lebih ceria, lebih gigih.
Begitupun Tuhan, Dia tidak pernah membandingkanmu dengan yang lain. Tidak pernah membandingkan ujian si A dan B. Karena Tuhan paham, bahwa si A dan B memiliki kemampuan berbeda, sehingga ujiannya pun berbeda. Tidak pada tempatnya.
Begitupun Tuhan, Dia tidak pernah membandingkanmu dengan yang lain. Tidak pernah membandingkan ujian si A dan B. Karena Tuhan paham, bahwa si A dan B memiliki kemampuan berbeda, sehingga ujiannya pun berbeda. Tidak pada tempatnya.
Aku pribadi tidak menginginkan anakku jadi X,Y atau Z. Cukup dia kuat, ketika ada masalah pun ingatlah ibumu, dan semoga pelukan ibumu ini akan menguatkanmu dalam menjalani hidupmu.
Ibu mu tidak menginginkan kamu kaya, menjadi alim ulama, menjadi guru besar, tidak. Cukup jadilah dirimu sendiri yang berguna bagi orang lain, setidaknya jangan sakiti orang lain. Kasihilah mereka.
Tuhan yang aku kenal, bukanlah penuntut hambaNya, harus mondok, berkopiah item, bersarung ijo, atau bahkan berkolor bolong. Tanpa perlu aku minta rejeki pun, Tuhan ku baik, Dia akan siapkan segala untukku bertumbuh. Tanpa perlu aku berdoa kejelekan bagi para orang yang menyakitiku, Tuhan akan mengajarkan mereka pelajaran hidup. Karena aku paham, Tuhan tidak suka aku menjadi jahat dengan mendoakan balsan kejelekan bagi mereka. Kebaikan akan dibalas kebaikan, keburukan akan dibalas keburukan. Itu sudah rumus hidup, seperti halnya 1+1 = 2. Tidak perlu lah aku meminta 1+1=2. Karena itu sudah keniscayaan. Seperti halnya jodoh, Tuhan sudah kasih rumusnya, wanita yang baik untuk pria yang baik, kecuali yang NGEYEL.
Salah satu teman beda agama, pernah menyarankan aku satu hal ketika berdoa. Jangan hanya meminta sesuatu yang sudah ada rumusnya, tapi mintalah KEKUATAN. Karena seringan apapun yang kita hadapi, tanpa adanya kekuatan kita akan merasa BERAT. Dengan kekuatan, seberat apapun jalan hidupmu, kamu akan ringan mejalaninya. Tx to Be*** yang sudah menyadarkan aku ttg itu. Seorang nasrani yang justru membuka mataku tentang LA HAWLA WALA KUWWATA ILA BILLAH.
Ga terasa, niatnya cuma curhat sebaris, eee jadi sehalaman. Ingat satu hal, Tuhan itu baik dan pengasih.