26 May 2010

Dimana mata kita? Dimana telinga kita? Dimana hati kita?

Sore ini aku pulang kantor seperti biasa. Berhubung lift penuh, atau emang aku sebenernya bosan naek lift, aku putuskan untuk turun ke lantai dasar pakai tangga. manual aja...
Seperti biasa aku ikuti jalan setapak menuju kosan, ya seperti biasa, hampir tiap hari aku lewat situ kan. Di tengah jalan, mataku tertarik pada sosok anak kecil yang terduduk di tengah jalan diantara kerumunan anak-anak yang lain. Ya kalau anak-anak kecil bermain bersama sore-sore gini pun adalah biasa. Tapi anak kecil itu, bukan hal biasa yang kulihat. Dia menangis, memegang belakang kepalanya, seperti kesakitan. Oh mungkin dia habis jatuh. Begitu dekat dengannya, aku rendahkan badanku, berjongkok, untuk kemudian bertanya, "Kenapa Dek?".
Entah kenapa di satu sisi aku ingin hangat menyapanya, namun di sisi lain aku miris dan ingin berteriak marah. Ada apa ini, begitu banyak orang di sini, kenapa mereka hanya tinggal diam? Kenapa hanya melihat? Dimana empati yang 50 tahun lalu masih sehat berdiri? Ini anak kecil, dia menangis meminta pertolongan...Satu sisi aku harus tersenyum, di sisi lain aku berteriak.
Kulihat lagi adek kecil itu, kuusap kepalanya, sedikit kupijat. Kemudian kuajak dia berdiri. Walaupun dia masih menangis, namun sekarang dia sudah berdiri dan kulihat akan bergabung ke teman-temannya.
Dan aku pun melanjutkan perjalanan. Pulang...

Anak kecil itu bukan minta uang, bukan minta rumah atau mobil, hanya minta sedikit perhatian dan kepedulian, empati. Kenapa kita begitu gengsi hingga tidak memapahnya berdiri, padahal dengan itu dia akan belajar menjadi orang yang bersedia menolong orang lain? Kenapa kita begitu ego hingga diam saja, padahal dengan menyapanya dia akan belajar untuk menjadi orang yang peduli?

Mereka generasi muda yang masih suci, yang belajar banyak dari sikap orang tua di sekitarnya. Tegakah kita menjerumuskan mereka dengan memberikan contoh yang tidak baik dan berakhir tidak baik juga ke kehidupan mereka nantinya?